11:19 PM

(1) Ketika Kekasih Pamit Pergi

Langit sore pantai Marina menyambutku dengan memperlihatkan lukisan terindahnya. Sebuah bola raksasa berwarna jingga menggantung dikelilingi semburat senja yang menua. Bola raksasa itu hanya tergambar separo. Separo tubuh lainnya mencair hilang tertelan larit biru air laut. Ditemani beberapa awan yang bergandengan tangan, matahari berayun pelan menuju peraduan. Sisa hangat cahayanya lamat tergolek manja, menyepuh biru laut menjadi pedar berkilauan. Beberapa burung pelipis terlukis berarak. Berbaris rapi mengepakkan sayap meniti jalan pulang. Betapa sebuah lukisan yang teramat sangat indah. Langit seperti sedang mengecup kening bumi.

Sejauh mata memandang, hanya terlihat guyur warna biru yang meneduhkan. Beberapa kapal berlabuh di tengah laut, tergambar begitu kecil hingga terlihat seperti tetesan noktah hitam. Angin berdecit-decit, melesak bak peselancar meniti punggung ombak. Mereka berlomba, beradu cepat menjadi yang pertama menjabat tangan pantai. Angin yang kelelahan, hanya menyisakan lembut belaian menyisir tiap jengkal kulit pengunjung yang berderet rapat bak bidak permainan catur. Laut terentang demikian luas, berpayung hamparan langit yang tiada memerlukan tiang. Kedamaian laut menyihir. Membelai. Menawarkan hangat bagi setiap jiwa yang terjulur mengakrabinya. Sungguh betapa Dia memang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa

Marina memang pantai yang indah. Setidaknya apabila kita datang untuk menyaksikan bagaimana matahari yang lelah memasrahkan dirinya ke dalam dekap langit senja. Hanya sayang, Marina tidak mempunyai pasir di sepanjang pantainya, tidak seperti pantai Kukub atau Parang Tritis di Yogya, pantai Kartini di Jepara, atau pantai Kuta di Bali. Di pantai Marina, yang membatasi air laut dengan daratan adalah sebuah pondasi yang dibangun membujur di sepanjang penjuru pantai. Alih-alih berjalan menikmati sensasi pasir mencari sela jemari kaki, pengunjung hanya dapat berpuas menikmati keindahan langit sore dengan duduk di atas pondasi atau di beberapa kursi batu yang tersebar tidak merata di tepian pantai.

Sore itu, aku memilih mengecap kecantikan Marina sambil merambatkan badan di kursi batu yang berdiam tepat di tengah pantai. Di sebelahku, sebuah pohon Akasia berdiri tegap, menjulurkan dedaunannya menaungi. Sejatinya, ini bukanlah pohon Akasia biasa. Pengunjung Marina megenalnya dengan sebutan pohon cinta. Meski sebenarnya, lebih tepat kalau pohon ini disebut pohon yang menderita. Demi ikrar cinta sepasang kekasih, pohon tua ini harus menanggung luka akibat goresan tangan para pengunjung yang mengukir nama diri dan nama kekasihnya. Lihatlah berbagai coreng moreng yang merambati setiap larit tubuh tuanya. Dari mulai coretan spidol, cakaran crayon, sayatan silet, hingga torehan buas pisau lipat. Betapa sebuah ironi, mereka yang mencinta, sang pohon yang menderita.

Tradisi yang bermula dari gubuk Shakespeare di Venice, Italia, ini kemudian menyebar mencari berbagai bentuknya di setiap kota di segenap penjuru dunia. Hingga kemudian, hampir di setiap tempat wisata, pasti ada suatu tanda yang dikorbankan untuk melanggengkan perwujudan simbol cinta tersebut. Benda tidak beruntung itu dapat saja sebuah pohon, gubuk, batu, atau benda lain. Apabila Anda bertandang ke kawasan Candi Gedung Songo, Semarang, dapat Anda lihat bagaimana di setiap sudut jalan, gubuk, pohon, batu, dan bahkan keras aspal jalan menanggung beban ikrar nama para pecinta tersebut. Cinta memang absurb. Dan oleh mereka yang berotak komoditi, keabsurban mencinta ini lantas menjadi ladang uang ketika imaji tidak berdasar tersebut dengan sukses dipoles menjadi sebuah realitas imajiner, hyperealitas. Siapa juga yang diuntungkan oleh ritual ukir-mengukir nama ini? Benar saja, para pemain dunia wisata tentunya.

Kawan, aku pun akhirnya menjadi korban ritual cinta ini. Setelah beberapa kali berontak tidak, entah di sore keberapa itu aku tak lagi kuasa menolak permintaan Nadia. Menyungging senyum kecut, aku mulai mengais mencari sela untuk memahat nama kami. Mencari sedikit celah di pohon sebesar ini ternyata bukanlah perkara mudah. Entah sejak kapan tradisi ini tertiup sampai di pinggir pantai Marina, tapi tubuh pohon Akasia yang tepat berada di tengah hamparan pantai telah penuh menanggungkan pasangan nama para pencinta. Aku bahkan harus mendaki dahan untuk dapat menarikan spidol hitam mengukir namaku dan Nadia. Nadia hanya cekikian ketika melihatku merayap seperti kalong menjulurkan tangan dengan kaki gagap menggapai mencari pijakan. Ritual coret mencoret yang aneh. Dan untuk menjalaninya, aku ternyata harus berperan lebih aneh dari seharusnya.

Senja menggantung semakin pekat. Semburat merah memeluk rapat matahari yang makin jauh tenggelam dalam kelelahan. Tubuh matahari yang hilang tergerus kilau biru air laut, menghadirkan pesona lukisan yang semakin memikat saja. Sepasang remaja tak jauh dari tempatku duduk terlihat begitu asik mengamati tiap gerak lembut matahari menuju ke peraduan. Sesekali tangan sang lelaki teracung, menunjuk-nunjuk ke arah matahari. Mungkin saat itu, ia sedang berucap kepada kekasihnya, ‘Biar matahari datang di pagi hari dan menghilang di malam hari, tapi cintaku kepadamu, akan selalu bersinar di setiap waktu.’ Amboi, indah bukan? Cinta memang seperti seorang guru bahasa Indonesia. Memprovokasi semua orang untuk merasa layak bersenandung seperti para pujangga.

Aku membawa pandanganku ke arah laut. Udara sore cukup bergemuruh, mengirim buih-buih ombak yang bergulung muncul dari tengah laut. Ombak yang menderu, terlihat makin melemah ketika mulai menyapa bibir pantai. Bersitatap dengan ombak, selalu mengingatkanku akan arti sebuah kesetiaan dan kasih sayang. Tanpa mengenal lelah, ombak selalu datang mengunjungi pantai. Ombak tak pernah meninggalkan pantai. Hanya kepada pantai ombak selalu pulang dalam keadaan sayang. Seberapa tinggi pun gelombang ombak terkirim dari tengah laut, ketika menyentuh pantai, ombak akan menjadi debur air yang kehilangan kegarangan. Tenang. Teduh menentramkan. Bukankah memang demikian seharusnya perilaku yang mencinta kepada kekasihnya? Selalu datang dengan kelembutan. Berikrar setia dalam kebersamaan. Tak pernah ada pengingkaran ataupun sebentuk kebohongan.

Indah potret sore pantai Marina memang sangat bersahabat dengan mata. Pemandangannya mempesona. Kesejukannya menggetarkan. Tapi, sayangnya, keindahan Marina tidak sanggup menembus hatiku. Kabut kalut yang melebat, membuat keelokan Marina tak kuasa merambat ke dalam jiwa. Sejak malam kemarin berbincang dengan Nadia, hatiku kemudian hanya mengenal satu rasa: cemas. Ah, Nadia, kenapa kamu musti tiupkan berita itu. Berita yang terasa begitu mengejutkan, menakutkan. Memaksaku berperang melawan bayangan. Berita yang Nadia sampaikanlah yang membuat aku sekarang menjulurkan raga mengecap udara pantai Marina. Berharap pesona damainya mampu merepihkan berbagai takut yang mulai menguncup di taman jiwa. Meski ternyata sia-sia. Kawan, ternyata, mata hati lah yang kuasa membuat suatu keindahan tercecap oleh jiwa, bukan mata harfiah manusia.
[]

Senja berjalan semakin dekat menggandeng petang. Selarit angin menderu ke arahku, membelai pikiranku, menghadirkan kembali fragmen peristiwa malam itu. Lepas Isya, di meja sudut ruang café Gazebo, Tembalang. Diantara nyala lilin di atas meja yang meliuk menampar udara malam. Duduk di depanku, selalu cantik seperti biasanya, Nadia mengurai berita yang sedari siang akan dia sampaikan.

‘Aku akan di Malaysia selama 2 tahun.’

Nadia berucap dengan pelan. Deret hurufnya ditekan begitu halus. Jelas ia sangat berhati-hati menyampaikan kabar ini. Tetapi, di telingaku, kata-kata itu berubah menjadi lebah yang menyengat. Tidak hanya kaget, aku juga terkejut luar biasa. Sesaat aku tidak percaya dengan yang aku dengar. Aku goyang-goyangkan kepala. Berharap deret kalimat tadi luruh. Menandakan aku sedang salah dengar.

‘Malaysia? 2 tahun?’ aku berucap memastikan.
‘Iya.’
Rupanya apa yang aku dengar benar adanya.
‘Untuk apa?’
‘Aku akan bekerja di sana. Bulan kemarin, om Handoyo memberitahu ada lowongan sebagai customer service di KLIA (Kuala Lumpur Inter-national Airport). Iseng-iseng aku apply. Kamu tahu kan aku memang pengen banget kerja di luar negeri. Bahkan impianku adalah keliling dunia.’

Om Handoyo adalah adik Om Toni, ayah Nadia. Beliau bekerja sebagai staf kedutaan besar RI di Malaysia. Dalam gagap, aku paksakan untuk menjawab.

‘Iya, kamu pernah memberitahu masalah itu. Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahu masalah lamaran pekerjaan ini kepadaku?’

Semacam ada perasaan tidak rela Nadia menyembunyikan sesuatu dariku. Apalagi informasi sepenting ini. Bukankah ketika kita saling mencinta, kita harus berlari dalam kejujuran kepada orang yang dicinta? Apapun alasan Nadia, hatiku menanggung pilu memikirkan kenyataan ia baru memberitahuku sekarang. Aku seperti merasa Nadia telah mengkhianati diriku. Satu bulan, kawan. 30 hari dia menyembunyikan berita ini dariku.

‘Aku pikir waktu itu aku tidak akan diterima. Orang waktu itu aku hanya spontan menanggapi tawaran om Handoyo.’

Nadia jelas sedang tidak enak hati. Ia berusaha menjelaskan alasan kenapa ia baru memberitahukan berita ini sekarang.

‘Tapi nyatanya, kamu diterima kan?’

Nadia tersudut. Hening menggenang. Suara musik yang mengalun lamat, tak kuasa menembus kabut yang menebal menutupi hatiku. Ternyata, gelora malam itu tidak hanya sampai di sini saja. Gemericik pedih yang mengguyur berubah melebat ketika Nadia memberitahukan bahwa dalam 2 tahun tersebut, ia sama sekali tidak diperbolehkan kembali ke Indonesia. Dalam kontrak kerja yang ia terima, tertulis bahwa calon tenaga kerja atau pihak kedua harus menyelesaikan kontrak kerja tanpa diperbolehkan kembali ke negara asal. Apabila terpaksa ada hal darurat yang membuatnya harus pulang, ia diharuskan memberikan jaminan berupa orang dan sejumlah uang yang sangat besar.

Carut marut rasa berlompatan dari hatiku, melesak-lesak menabrak dinding jiwa. Dua tahun tidak saling jumpa bukanlah ide yang baik. Bagaimana aku akan menanggungkan rindu yang tiap hari membuncah menggunung. Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku tanpa derai tawa dan tatapan indah Nadia. Aku juga tak yakin akan siap kehilangan spon-tanitas yang selalu meramaikan hidupku. Bagaimana laju nafasku ketika separo hati tercerabut menjauh, demikian jauh hingga melintasi batas negara. Apa yang akan terjadi dengan tungku hidupku ketika percik api yang selalu menghangatinya pamit untuk tidak berpijar lagi. Ah, derita yang belum lagi aku tanggungkan telah sukses mengharu birukan hatiku yang tiba-tiba menjadi kerdil.

‘Kenapa kamu lakukan itu, Nad?’ di tengah suasana café yang tidak begitu ramai, aku mengeja kata-kata itu dengan nada lirih.
‘Lakukan apa?’
‘Menikamkan belati ke ulu hatiku.’
‘Belati apa? Jangan becanda ah.’
‘Aku tidak becanda.’
‘Tapi aku tidak bawa belati. Mana bisa menikamkan ke hati kamu.’
‘Lalu apa yang ada di tangan kamu?’
‘Kertas.’
‘Kertas apa?’
'Kontrak kerja.’
‘Kontrak kerja apa?’
‘Bahwa aku diterima kerja di KLIA Malaysia.’
‘Tidakkah itu lebih pedih dari sekadar tikaman belati?’

Aku terdiam setelah mengucap kata itu. Bayang kesendirian yang mengepung kesadaran, membuat deret kata yang bersiap keluar kembali terhisap masuk. Aku tak mengira, jenis berita seperti ini yang akan dia sampaikan.

‘Kamu membunuhku, Nad.’
‘Andai hanya belati yang merobek hati, paling hanya darah yang mengucur. Tapi bagaimana aku harus menghadapi lubang yang akan tercipta begitu dalam dengan tiadanya kamu di sisiku. Dua tahun, Nad, bukan lah sebuah waktu yang singkat.’
Nadia terdiam. 2 lembar kertas kontrak kerja yang sedari tadi terbuka di genggamannya, kembali ia lipat. Ia biarkan lipatan kertas itu teronggok dalam gengaman jemarinya. Wajahnya mengerut, seperti anak kecil terberai dari keinginannya.

‘Come on, Han. Don’t be so such dramatic. Aku hanya pergi untuk 2 tahun. Toh aku pergi untuk kerja. Bukan untuk meninggalkan kamu.’

Nadia benar. Ia memang pergi untuk bekerja. Untuk mengejar salah satu mimpinya. Bukankah selama ini ia selalu mendengungkan harapan untuk bisa berkeliling dunia? Dan apabila ternyata itu harus dimulai dari Malaysia, kenapa sekarang aku musti memprotesnya. Tapi, 2 tahun tidak bertemu? Ah.. Dan kenapa juga ia baru memberitahuku sekarang?

‘Aku sayang kamu, Nad.’ Aku bimbing wajah Nadia lurus ke arah wajahku. Menghadap sepenuhnya kepadaku.
‘Aku juga sayang kamu, Ndra. Lebih dari yang kamu tahu.’
‘Tapi kenapa kamu memilih pergi?’
‘Aku tidak pergi kok. Aku akan tetap di sini.’ Telapak tangan Kiki menjulur. Menempel ke dadaku. ‘Aku akan tetap berdiam di sini. Sela-manya. Tak ada yang akan dapat hadir memisahkan kita.’
‘Lalu kenapa kamu musti pergi ke Malaysia?’
‘Untuk mengejar impianku. Bukankah aku sudah sering mem-bicarakannya dengan kamu. Kamu gak lupa, kan?’ Nadia menatap mataku usai berucap. Ia seolah mencari jawab di sana. Nada ketus masih pekat membungkus ucapannya.
‘Kamu gak lupa kan, Ndra? Bukannya kamu dulu selalu mensupport aku. Menyemangatiku untuk terus mengejar mimpi-mimpiku.’
‘Iya.’
‘Terus, kenapa sekarang kamu keberatan?’
‘Aku tidak keberatan kok.’
‘Tapi kenapa kamu tidak merelakan aku?’
‘Karena aku sayang kamu, Nad. Teramat sayang kamu.’
‘Kalau begitu, dukung aku dong.’

Aku mendesah pelan. Mengejapkan mata untuk menghalau berbagai rasa khawatir yang bermunculan. Dalam kebingungan, kata yang kemudian aku ucapkan, justru menjadi genderang perang yang aku tabuh kepada Nadia.

‘Ini bukan cara orang tua kamu untuk menjauhkan kamu dari aku kan, Nad?’ Terucap juga kalimat itu. Meski sedari tadi aku bersusah payah menahannya.
Rona wajah Nadia sontak berubah. Alis matanya terangkat ke atas. Ia sepertinya tidak percaya aku mengajukan pertanyaan ini.

‘Sejak kapan kamu berpikir aku bersekutu dengan orang tuaku?’ Nada suara Nadia meninggi. Kelihatan ia tidak senang dengan pertanyaanku barusan. Ia mengganti kata ayank dengan kamu.
‘Jika aku memang menginginkan berpisah dengan kamu, kenapa juga aku musti jauh-jauh ke Malaysia. Aku cukup bilang tidak ke kamu, dan selesailah semuanya.’ Jelas Nadia sedang berang. Ucapanku tadi benar-benar sebuah terompet perang yang membariskan beribu pasukan geram di hatinya. Nadia kembali menyiagakan pasukan tempurnya.
‘Aku di sini hidup nyaman. Serba berkecukupan. Sedangkan di Malay-sia, aku tak tahu nanti hidup seperti apa. Paling tidak aku hanya akan mengandalkan gajiku. Kamu tahukan, itu pasti bukan kehidupan yang mudah. Tapi ini semua demi impianku. Impian yang sejak kecil aku kirimkan ke langit. Impian yang selalu menemaniku dalam setiap tidur malamku. Impian yang tetap menggerakkan aku. Membuat aku tetap ber-semangat menjalani hari-hariku.’

Mata Nadia sesaat terpejam sebelum kemudian melanjutkan, ‘Aku tidak percaya kamu dapat berpikir seperti ini.’
Aku tergagap. Dengan segera aku menyadari kesalahanku. Memang tidak seharusnya aku berucap seperti tadi.

‘Maaf, Nad. Aku sedang bingung hingga pikiranku ngelantur kemana-mana.’

Nadia hanya terdiam. Aku semakin merasa tidak enak hati dibuatnya. Ah, kelemahan iman dengan menyerah pada godaan setan memang selalu membawa ketidakbaikan. Ini salah satu contohnya. Aku tidak menyaring pikiranku. Langsung melontarkan apa yang melintas di kepalaku..

Batinku mengutuk kebodohanku sendiri. Apa lagi yang musti aku ragukan dari Nadia. Keteguhan hatinya selama 2 tahun menderita bersamaku rasanya lebih dari cukup untuk menguji keseriusan cintanya. Restu yang belum jua diberikan orang tuanya, tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menyulam benang cinta bersamaku. Apabila ia tidak serius dengan cintanya, bukankah sedari dulu ia bisa dengan mudah melepasku. Tanpa musti menunggu aku melepas tangannya, dapat dengan sekejap ia mencari tangan yang lain. Dan jika selama ini ia sanggup menanggungkan segala lara dan derita, kenapa sekarang aku justru menjadi manusia yang picik dengan mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti terjadi.

‘Nad, maaf ya. Tidak seharusnya aku berucap seperti tadi.’

Aku mengulang permintaan maaf karena Nadia tetap memilih untuk berdiam. Setelah berucap maaf kedua kali, aku pun turut berdiam jua. Pengalaman mengajarkan, menghadapi Nadia dalam situasi seperti ini, hal paling baik adalah membiarkan dia berdamai dengan dirinya sendiri. Sifat egoisnya, acapkali, hanya dapat diruntuhkan oleh lunak hatinya sendiri.
Setelah cukup lama berdiam, akhirnya Nadia dapat memahami kekalutanku.

‘Aku minta jangan menuduhku yang bukan-bukan. Lebih baik kita saling menguatkan dan mengingatkan. Aku teramat sayang kepada kamu. Aku juga tidak mau kehilangan kamu.’

Aku mendesah pelan. Bersyukur dan berterima kasih untuk pengertian yang Nadia diberikan. Sebagai orang yang merasa paling mengenal dia, kenapa sekarang aku justru menentang keputusannya. Atas nama cinta, kenapa aku justru menghambatnya. Atas nama sayang, kenapa justru aku merenggut sayap kemerdekaannya. Tapi…, bukankah banyak warta mengabarkan, jarang ada pasangan yang bisa selamat dari lilitan perih hubungan jarak jauh? Berapa banyak genggaman kekasih yang kemudian merenggang hilang ketika jarak terentang menghadang? Betapa banyak ikrar yang dipatri kuat luluh hilang tersapu badai kesepian? Mereka yang mendapat dukungan penuh keluarga saja acapkali tak berdaya tertelan kesepian dan kehampaan cinta jarak jauh? Apalagi aku dan Nadia yang belum jua mendapat restu dari keluarganya? Ketika bayang tanya ini berkelebat, rasa yakin yang mulai berkerumun, sontak menggelandang kembali. Menyusut menghilang meninggalkan hatiku dalam sejuta ngilu penuh kekhawatiran.

Rupanya, kejutan malam itu tidak hanya berhenti sampai di sini. Ketika aku masih sibuk mengembalikan hati yang berloncatan dalam kalut carut marut rasa, Nadia justru mengatakan sesuatu yang semakin melecut rasa hati ini berlarian tak karuan.

‘Sebenarnya, aku juga masih bingung kok yank. Kalau kamu bilang tidak boleh, aku mungkin akan meng-cancelnya.’ Aku kaget mendengar Nadia mendadak berucap seperti itu. Nada bicaranya terdengar mantap. Jelas ia tidak sedang bermain-main. Permainan apa ini? Bukannya baru saja ia demikian kukuh menyuarakan impiannya. Tapi kenapa sekarang ia me-nyerahkan kartunya kepadaku?

‘Aku tidak salah dengar, Nad?’ Tanyaku sambil erat menatap matanya.
‘Tidak,’ Nadia langsung menyambar pertanyaanku. Tak sedikitpun geliat ragu mengambang dalam jawabannya.
‘Kalau kamu melarang, aku bisa memahaminya. Karena sejatinya, aku pun masih ragu dengan hatiku. Kamu sangat berharga buatku. Makanya aku berbincang ke kamu. Untuk menguatkan dan menentukan mana yang harus aku pilih. Mumpung ini masih dalam taraf pengumuman, belum masuk ke tahapan seleksi berikutnya. Aku berpikir, kamu dapat membantuku mengambil keputusan. Tetapi apabila ternyata kamu keberatan, aku akan pertimbangkan kembali pekerjaan ini. Meski aku dapat menerima sikap kamu ini, tapi mungkin, aku tidak akan melupakannya. Bagaimana pun, ini adalah impianku. Tetapi, aku juga tidak mau pergi tanpa rasa ikhlas dari kamu.’

Aku tergagap. Nadia yang demikian egois. Nadia yang demikian memuja impiannya, atas nama cinta, sanggup menurunkan egonya. Mengingat pribadinya yang keras dan teguh, jelas bukan perkara mudah untuk kehilangan apa yang sedari lama telah ia impikan? Sebesar itukah rasa percaya Nadia kepadaku?
Roll coaster berpenumpang bingung, kalut, bergemuruh melesak-lesak mengecap puncak-puncak rapuh hati manusiaku. Jujur saja, berat untuk mengikhlaskan Nadia pergi. Dan melihat kerelaan Nadia melepas impiannya, bukannya membantu, justru makin merepihkan hatiku. Bagaimana aku harus membaca kepasrahan dan kepercayaan Nadia ini? Aku tak kuasa menjawab. Pikiranku mengembara. Berkelana. Tersesat dalam bayang bentang jarak Kuala Lumpur-Semarang.

Jaket malam makin rapat mendekap tubuh bumi, café yang terletak di sebelah jalan tol Tembalang ini makin ramai saja oleh pasangan yang hendak menghabiskan malam. Hingga sekitar pukul 9, ketika pertemuan harus berakhir, aku tak jua merumuskan jawab atas kepasrahan Nadia.
[]

Aku kembali mengakrabi gambar langit sore Marina. Lekat menatap laut, berharap ada jawab yang terlukis di sana. Tetapi, sia-sia saja. Tak ada yang berubah dari langit Marina. Hanya warna senja yang semakin bertambah pekat. Tak terlihat tanda yang dapat aku baca untuk mengurai kalut dalam jiwa. Aku giring pandanganku ke arah biru air laut. Berharap ada sesuatu yang menyembul, atau tergambar di sana. Tetapi kembali, tidak ada yang dapat terbaca. Ah, alam sedang tidak bersahabat dengan batinku. Ataukah, kalut dan bingung telah membuat tumpul jiwaku?

Sekumpulan burung terlihat terbang melintas membelah langit sore. Seperti ada yang mengkomando, mereka berbaris rapi dalam formasi berbentuk huruf ‘V’. Rupanya bukan tanpa alasan burung tersebut bersetia terbang dengan formasi ‘V’. Formasi ini terbukti mampu mengurangi tubrukan angin yang melawan mereka ketika terbang. Sesuatu yang ternyata alam ajarkan, dan kemudian diadopsi oleh insinyur teknologi balap mobil hingga melahirkan konsep aerodinamika.

Apabila manusia cukup mampu membaca, alam sebenarnya mengajarkan begitu banyak hal. Allah menurunkan karunia-Nya kepada manusia dengan banyak bahasa. Masih ingat cerita Kabil? Anak nabi Adam yang membunuh saudaranya, Habil. Dalam kebingungan karena tidak mendapatkan cara untuk menyembunyikan jenazah Dabil, Allah mengutus sepasang burung gagak berbicara kepadanya. Dua ekor burung gagak turun ke bumi, berkelahi hingga salah satu diantaranya mati. Burung yang masih hidup tersebut kemudian mematuk-matuk tanah dengan paruhnya, menciptakan lubang, dan memasukkan jenazah burung yang mati ke dalam lubang tersebut. Dengan bahasanya, burung gagak tersebut mengajarkan kepada Kabil bagaimana cara mengubur saudaranya. Betapa besar kuasa Allah sebagaimana ia firmankan dalam Al Qur’an:

… Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Az-Zumar:42)

Di bawah langit yang mulai memanggulkan samar, sebuah ombak kembali terkirim datang menemani pantai menyambut malam menjelang. Petang sudah melambai. Tak jua ada jawab alam yang sanggup aku baca. Badai bingung masih saja bergemuruh dalam laut hatiku. Aku tatap jam tangan di pergelangan tanganku: 17.45. Sebentar lagi waktu Magrib tiba. Tak ingin terlewat waktu Magrib, aku memutuskan untuk pulang. Biarlah nanti aku bersilaturahmi menemui kang Radjimo saja. Meminta pendapatnya. Berharap kea-rifannya dapat menjernihkan pikiranku, mencari jawab atas kepasrahan Nadia.

Sebelum menyisir jalan pulang, aku rambatkan pandanganku merayapi pohon Akasia. Dalam udara yang mulai menanggungkan pekat gelap, mataku nanar mencari larit kulit kayu yang menyimpan nama kami. Beberapa lama tersesat dalam baris tak beraturan lautan pasang nama, sebuah senyum mengembang juga. Di sana, di dahan pertama yang menjulur ke arah laut, di antara tumpukan pasang nama yang tercoreng dalam aneka bentuknya, masih aku lihat tulisan itu erat memeluk kulit Akasia, terbungkus oleh sebuah gambar daun pohon waru simbol cinta: Candra loves Nadia. Tak ada yang berubah dari tulisan itu. Hanya warnanya yang agak memudar seiring dengan usia Akasia yang semakin menua. []

0 comments: