8:42 PM

(2) Ketika Cinta dituntut Keikhlasannya

Bumi mulai merebahkan diri dalam buai senandung malam. Sebuah kuas tak terlihat menari mendayu menghitamkan langit. Pedar lampu jalan tergolek lemah menyepuh atap-atap rumah penduduk yang berbaris rapat di kawasan Semarang atas. Keindahan kota Semarang di waktu malam selalu menghadirkan nuansa indah yang menggetarkan. Kilau warna-warni cahaya lampu kota, pedar lampu rumah penduduk, terang lampu gedung, aneka sorot papan reklame, dan lincah gerak lampu kendaraan saling menyulam membentuk harmoni absurd warna lukisan surealisme. Aneka warna seperti begitu saja ditumpahkan di atas canvas berwarna hitam. Tak beraturan tapi menghadirkan nuansa nyaman.

Hayya alla sholla
Hayya alla falla
Qadqa matisalla
Allahu akbar allahu akbar
La illaha illallah

Indah lantun iqamah lamat menghilang ketika aku tiba di rumah kos. Aku kos di Gergaji, sebuah kawasan yang terletak tidak jauh dari Simpang Lima, ruang publik paling ternama di Semarang. Setelah memarkir motor, menaruh tas dan jaket, aku bergegas menuju musholla yang terletak tak jauh dari tempat kosku. Beberapa bapak yang juga akan mendirikan shalat magrib berjalan tergesa mempercepat langkah. Usai membasuh muka dan berwudhu, aku segera membariskan diri mengikuti urutan shaft. Bacaan Al Qur’an imam mengalun lembut, memantul di antara dinding-dinding musholla, meneduhkan telinga dan jiwa makmum yang berada di belakangnya. Shaf salat tidak terlalu penuh sore itu. 3 baris shaf terakhir tidak terisi jamaah. Tepat aku berbaris di deret shaft, shalat magrib telah memasuki rakaat kedua.

Musholla ini tidak berukuran besar, terhimpit di antara deret pemukiman warga. Serambinya pun langsung berhadapan dengan serambi rumah warga. Hidup di pemukiman padat seperti Gergaji memang meniscayakan keberadaan luang lapang layaknya tata ruang di kampung. Kesibukan penduduk kota juga membuat nafas agama di musholla ini kurang terasa gregetnya. Sehabis shalat magrib, tidak seperti mushalla di kampung yang penuh menanggungkan anak-anak belajar mengaji, musholla ini selalu lengang seperti tempat keramaian usai menanggungkan hajatan. Yang tersisa, biasanya, hanya beberapa bapak yang bercakap di teras musholla, menunggu waktu Isya’ atau sekadar bercakap sekadarnya.

Berbeda dari biasanya, usai mendirikan shalat Magrib, aku tidak ingin segera melipat sajadah. Damai yang tercipta dari khidmat shalat dan suasana nyaman mushalla membuat aku ingin sedikit lebih lama menyatu dalam lirih udara melantukan tasbih kepada Sang Penguasa Dunia. Dengan hati yang dibalut resah, betapa ibadah yang dijalani terasa lebih menemukan ruhnya. Sesaat aku bergetar malu memikirkan bagaimana aku hanya berlari khusuk kepada-Nya ketika ada kerikil derita ataupun resah menyembul mengganggu ketenangan jiwa. Kenapa begitu susah untuk menggetarkan jiwa dalam doa saat rasa ataupun kehidupan berjalan baik-baik saja. Ataukah, rasa sedih, sakit, dan derita sengaja diciptakan agar manusia dapat merasakan kenikmatan tulus sebuah doa?

Bukan rahasia lagi bahwa kebahagiaan, kemewahan, dan aneka nikmat dunia acap membuat batin manusia menjadi bebal. Segala yang keluar dari batin yang bebal kemudian menjadi terasa kering, gersang, dan layu. Ketika pemilik jiwa gersang ini melantunkan doa, kata-kata itu terasa keluar dari penalarannya saja, bukan dari hati nuraninya. Sungguh berbeda dengan apa yang dirasa oleh merasa yang sedang menanggungkan nestapa. Batin pemilik jiwa yang sedang menderita cenderung peka dan sensitif terhadap rangsangan rasa. Hingga ketika ia berdoa, batinnya juga akan ikut bergetar. Ia seolah luruh dalam pemaknaan kalimat yang terkirim ke langit. Inilah mengapa kesedihan tidak selamanya berkonotasi jelek. Kesedihan, sakit, bahkan perbuatan dosa dapat menjadi berkah apabila ia kemudian melahirkan penyesalan, pertobatan, kebaikan, dan ketakwaan kepada Allah swt.

Firman Allah dalam Al Qur’an:

Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath:18)

Setelah merampungkan wirit, aku melipat sajadah dan melangkah keluar mushalla. Benar saja, beberapa Bapak nampak asyik berbincang di serambi. Aku menyalami mereka sebelum meninggalkan musholla. Beberapa penduduk yang berpapasan menyapa ketika aku melewatinya. Cukup lama tinggal di tempat ini membuat aku telah akrab dengan penduduk sekitar.

Rumah kos ini hanya ditempati bertiga, aku (Muhammad Candra), Agus Setyabudi, dan Aris Yusuf Setyawan. Aku yang tertua di antara mereka. Agus bersekolah di SMKN 7 Semarang, sekolah kejuruan terbaik di kota Semarang. Lulusan sekolah ini biasanya memiliki masa depan cerah. Puluhan perusahaan antri untuk mendapatkan tenaga dan pikirannya. Aris yang dulunya juga bersekolah di SMK N 7 Semarang sekarang sudah bekerja di Nasmoco Kaligawe, dekat terminal Terboyo Semarang. Tahun ini ia bahkan terpilih mewakili region Jawa Tengah dan DIY untuk mengikuti lomba Body Painting tingkat nasional di Jakarta. Apabila juara, ia akan mewakili Indonesia mengikuti kontes serupa tingkat Asia Pasifik di Thailand. Sudah 1 minggu ini ia dikirim perusahaannya untuk training di Jakarta dalam rangka persiapan menjelang perlombaan tersebut. Inilah mengapa suasana kos mengalun syahdu penuh keheningan. Apalagi sejak pulang dari musholla, aku pun tidak melihat Agus. Kalau jam segini ia tidak berada di kamarnya, biasanya ia sedang belajar bersama bersama teman-teman sekolahnya.

Sesampai di kamar, aku merebahkan tubuh lelahku di atas tempat tidur. Setelah seharian bekerja ditambah resah yang menggelanyuti jiwa, tubuhku terasa capek juga. Sedikit guyur air, mungkin tubuh ini terasa segar. Tetapi biarlah aku mandi nanti menjelang shalat Isya’ saja. Aku juga berencana menemui kang Radjimo setelah shalat Isya’. Sesudah magrib, Kang Radjimo pasti sibuk mengajar membaca Al Qur’an anak santrinya. Kang Radjimo adalah mentorku semasa kuliah di Fakultas Sastra. Usianya kira-kira terpaut 5 tahun lebih tua dariku. Dia adalah ativitis kampus. Kalau tidak kuliah, waktu dia habis didedikasikan untuk dakwah atau kegiatan keagamaan kampus lainnya. Setelah lulus ia mengabdikan dirinya beribadah mengurus sebuah yayasan amal dan zakat milik seorang dai ternama.

Berbicara dengan kang Radjimo ibarat mengecap kesejukan air telaga. Tiap suku katanya tersusun dengan baik. Pilihan bahasanya begitu halus dan diucapkan dengan intonasi yang sungguh tepat. Kata yang terucap dari hati yang sepenuhnya hadir untuk menyimak itu selalu ampuh mengurai kusut jiwa tiap kali aku berada di dekatnya. Kang Radjimo adalah oase kehidupanku. Tiap kali aku tersesat dalam gelap lorong jiwa, aku selalu berlari kepadanya. Ilmu agamanya tergali demikian dalam. Kearifannya membumbung tinggi mengecap pintu-pintu langit.

Aku menggeliatkan tubuh dengan malas. Mataku menerawang, menerabas ke atas. Bersitatap dengan langit-langit kamar, aku beristigfar mengingat tantangan Nadia. Sholat membuatku tenang, tetapi kecamuk bingung masih membakar kedamaian hatiku. Bencana yang belum lagi aku tanggungkan ini memang telah membuat pikiranku mengembara. Tersesat dalam rimba kekhawatiran nafsu kepemilikan. Tubuh yang dibalut lelah menggodaku untuk memejamkan mata. Membiarkan pikiran yang juga lelah ini berjumpalitan berkelana.

Subhanallah. Membiarkan akal berkelana tanpa kendali sungguhlah perbuatan yang sangat berbahaya. Pikiran yang kosong mudah sekali tergoda untuk menjadi sedih, cemas, takut, dan gundah. Pikiran yang kosong juga akan melemparkan pemiliknya mengingat berbagai hal yang tidak seharusnya diingat, apakah itu romantisme masa lalu atau bayang getir masa depan. Waktu kosong yang dibiarkan berlalu tanpa diisi dengan kegiatan yang positif merupakan bentuk kerugian. Ibarat pencuri, waktu kosong yang dibiarkan akan mencuri jatah kita untuk mendapatkan kebaikan dari berbuat, pahala dari beramal, ilmu dari membaca, atau teman dari bersilaturahmi.

Betapa pikiran yang dibiarkan kosong memang sangat berbahaya. Ibarat benteng tidak berpenjaga, ia dengan mudah disusupi oleh musuh. Benar saja, kala pikiranku melayang-layang tak tentu arah, sesosok makhluk aneh bertandang. Tanpa permisi ia duduk di sampingku. Berbisik di telinga kiriku, mencoba meniupkan jawab mengurai kabut yang menutupi hatiku.

‘Katakan saja tidak. Ia tidak akan pergi meninggalkan kamu. Ia akan mengorbankan mimpinya demi ego kamu. Bukankah ia sudah memberitahu kamu. Mengapa kamu membiarkan diri kamu bingung tidak karuan seperti ini. Telepon dia sekarang. Ucapkanlah saja kata itu, dan aku akan membantu kamu,’ demikian ia merayu aku.

Aku tergagap. Sesosok makhluk hitam jelek sedang merapatkan duduknya ke arahku. Melihat aku tidak segera menuruti sarannya, ia kembali menggodaku. Ia bisikkan betapa akan gersang hari-hariku ketika air kehidupanku berhenti mengalir. Ia rentangkan potret suram diriku yang berjalan tak tentu arah ketika makna hidup tidak lagi menghangati hatiku. Ia yakinkan aku bahwa arti kebahagian sejati adalah ketika aku bersama Nadia. Membiarkannya pergi adalah sebuah kebodohan, sebuah lubang yang aku ciptakan sebagai kuburanku sendiri.

Aku bergeming. Setidaknya sekarang aku tahu siapa gerangan yang sedang bertandang. Makhluk itu rupanya berkemauan keras. Ia tidak mudah menyerah. Dalam kamar yang sempit ini, ia melompat, berpindah ke telinga kananku. Makhluk itu katakan bahwa kepasrahan dan keihlasan membiarkan Nadia menjemput mimpinya adalah perbuatan ksatria bodoh yang berjalan dengan kepala tertunduk karena kalah perang. ‘Bangkitlah, katakan tidak kepadanya. Reguk kenikmatan bersamanya. Jangan biarkan ketidakpastian menjauhkan kamu dari nikmat cinta yang sudah kamu genggam. Telepon dia sekarang. Katakan tidak kepadanya.’
Makhluk jelek itu meraung karena aku tidak jua menuruti kemauannya.

‘Bukankah kamu bilang dia adalah pusat semestamu. Lalu apa yang terjadi apabila sebuah galaksi kehilangan pusatnya? Planet-plantenya akan saling bertabrakan. Hancur berkeping-keping. Jangan biarkan pusat semestamu pergi. Bangkit. Genggam dia. Kamu selalu melafalkan bahwa dia adalah jantung hidupmu. Apa yang terjadi bila separo jantung kamu terenggut hilang? Kamu harus bernafas dua kali lebih berat. Kamu bisa kekurangan oksigen. Dan akhirnya kamu akan mati mengenaskan. Kenapa kamu mau menukar kesenangan dengan sebentuk kebodohan? Bangun, bangunlah wahai temanku.’

Luar biasa daya tahan dan rasa tak tahu malu makhluk ini. Ia memangilku dengan sebutan teman segala. Betapa sok akrabnya. Ia kembali merayu. Tak jua kehabisan akal makhluk buruk ini. Makhluk ini seperti membawa setumpuk kamus ‘Cara Jitu Merayu dan Membujuk Hati’. Meski tak jua aku turuti, ia tetap maju membisikkan tipu rayu.

‘Kamu pikir kamu dapat lagi mendapatkan gadis seperti dia. Kamu pikir ia akan bersedia menunggu dan kembali untuk kamu. Bangunlah. Lihatlah realita. Menyan-dingkan dia adalah prestasi terhebat kamu. Membiarkan dia pergi hanya akan membuatnya melihat dunia lebih terang, membuatnya bertemu dengan makhluk dari penjuru dunia yang pastinya lebih hebat dari kamu. Apa yang kamu andalkan untuk bersaing dengan orang-orang hebat dari seluruh penjuru jagad itu? Kenapa kamu harus bersayembara dengan nasib.’

‘Bangun. Sadarlah. Apa yang dia lakukan sebenarnya tak lebih dari sandiwara orang tuanya untuk memisahkan kalian berdua. Apa yang membuat ia menahan kabar ini andai bukan karena ia memang sengaja mela-kukannya? Tegakkan harga diri kamu, teman. Jangan biarkan rasa pasrah menidurkanmu di balik selimut kebodohan yang akan kamu sesali nantinya.’
Hatiku bergetar, seolah terjadi gempa bumi. Aku tahu makhluk itu adalah perwujudan setan. Aku pun beristigfar. Memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang terkutuk. Tapi bukan setan bila ia cepat menyerah. Ia datang dari segala arah dan dapat hadir dalam rupa apapun. Melihat aku bersikukuh, ia kemudian mengubah dirinya menjadi angin, merobek dadaku, dan melesat menjerit-jerit di depan pintu hatiku.

‘Sadarlah. Sejarah percintaan jarak jauh mana yang pernah mengabarkan sebuah akhir yang bahagia. Jarak akan membunuh rasa sayang kalian. Gunung akan menghalangi tiupan kasih kalian. Laut yang terbentang akan menghambarkan manis cinta yang kamu kirim untuknya, hingga akhirnya membuat kalian tergelepar dalam derita penantian.’

Aku tersenyum kecut. Statistik memang tidak bersahabat. Sekian pasangan yang aku kenal tidak kuasa menahan coba melewati rasa yang terbentang jauh. Kebanyakan dari mereka memilih menyerah. Aku bukannya tidak tahu, aku sadar akan hal ini. Tapi, bagaimana kita bisa mengatakan garam itu pahit apabila tidak mencicipinya? Haruskah aku menambah daftar deret panjang mereka yang menyerah? Batinku bergetar. Aku orang beriman yang punya Tuhan. Tidak akan aku biarkan buram bayang masa depan meng-hancurkan keimananku.

‘Sadarilah kenyataan ini. Jangan menjadi orang yang naïf. Ketika masih satu kota, satu negara, hubungan kalian saja begitu pelik, penuh rona, penuh dengan derita dan nestapa. Apalagi nanti ketika jarak memberai kalian berdua. Hubungan dengan restu orang tua saja sering tidak kuasa menahan koyak kesendirian dan penderitaan dalam kisah cinta jarak jauh. Apalagi kisah kalian, hubungan tanpa restu orang tua dia.’

Luar biasa. Setan terkutuk ini pastinya sudah melakukan riset untuk mengetahui sejarah percintaanku. Mendengar ucapannya, aku terpukul juga. Cinta dengan restu saja acapkali menggigil luruh ketika harus melakonkan long distance relationship. Apalagi cinta yang tak direstui seperti kisah cintaku ini. Setan hina ini benar juga. Tetapi, bukankah kami sudah kebal dengan kesendirian? Sekarang pun, ketika kami masih satu kota, kami tidak bisa berjumpa sesering hati menginginkannya. Kala rindu memanggil, kami harus menciptakan sebuah scenario pertemuan yang tergelar seperti cerita-cerita dalam roman. Kami bermain petak umpet dengan orang tua Nadia. Jadi, apabila nantinya kami harus berteman akrab dengan sepi dan sendiri, bukankah selama 2 tahun terakhir ini, itulah kisah cinta yang tergelar? Jadi, apa yang musti aku takutkan untuk menerima tawaran peran roman cinta jarak jauh ini?

Aku bergeming. Ketakutan yang makhluk jahaman hembuskan ini tak mampu membelai kukuh benteng hatiku. Andai cuma kesendirian, aku sudah terlatih untuk mengakrabinya. Melihat aku masih saja tidak menerima tawarannya, setan ini tidak juga menyerah. Ia justru semakin keras mengetuk hatiku, meraungkan tipu rayunya.

‘Bangun manusia kepala batu. Apalagi dia seorang wanita, makhluk yang lemah. Tidak akan ada wanita yang tahan terhadap derita. Wanita itu peka, rapuh terhadap rasa. Kamu pikir menahan rindu itu tidak menderita. Kamu mungkin bertahan, tapi tidak dengan dia. Kenapa dia harus menggigil dalam dingin gigitan rindu ketika nanti di sana ada tangan dan hati yang menawarkan hangat. Kamu nanti akan menyesali kebodohanmu ini. Larang dia sekarang. Atau dia akan membunuh kamu di kemudian hari.’

‘Andai ia tetap bersikeras pergi, kamu hendaknya menegakkan harga diri kamu sebagai laki-laki. Sadarilah, siapa yang dapat menjamin ia dapat memelihara rasa. Bisa saja ia akan memutuskan rasa itu. Bangkitlah kalau begitu. Putuskan saja dia sekarang. Tegakkan harga diri kamu. Larang dia untuk pergi. Andai ia tetap bersikeras, bangunlah, ucapkan saja putus kepadanya. Untuk apa kamu bersusah payah menyimpan setia apabila kamu juga tidak tahu apa yang terjadi padanya di negeri seberang sana.’

Aku menatap makhluk jelek itu. Melemparinya dengan senyum. Lalu menggelengkan kepala menolak tawaran manisnya. Selesai? Belum. Setan hina itu tetap maju menerjang dengan rayu maut membiusnya yang lain. Kali ini dia berusaha mematik rasa sakit akibat deraan hinaan keluarga Nadia.

‘Bangun wahai manusia. Tegakkan harga diri kamu. Mengapa kamu tiada jua lelah meski tiap saat pribadi kamu mereka hina. Mengapa begitu mudah kamu melupakan tiap rasa sakit yang keluarganya torehkan kepadamu? Mengapa kamu tetap saja bersetia meski mereka sama sekali tidak menganggap kamu ada. Wahai kawan, kamu adalah seorang laki-laki. Lihat apa yang selalu kamu lakukan. Meringkuk tiarap seperti tikus. Bahkan kamu tidak berani bersikap layaknya lelaki bermartabat. Inikah hidup yang kamu inginkan? Ayo, teman, jalanilah hidup ini dengan penuh kesenangan. Bangkitlah. Raih tanganku. Cecap nikmat dan surga dunia bersamaku. Telepon dia sekarang juga. Katakan tidak kepadanya. Biarkan rasa cemas hati kamu terbang menghilang bersama derap malam yang melaju. Akhirilah semua derita malam ini juga. Telepon dia, katakan bahwa kamu melarang dia untuk pergi.’

Luar biasa stamina setan ketika menggoda. Dia benar-benar tahu bagaimana cara merayu. Tembakannya juga selalu tepat di titik lemah manusia. Dia benar-benar melakukan riset yang hebat sebelum datang menyerang. Aku beristigfar, kembali memohon perlindungannya. Aku tidak boleh kalah. Allah telah memperingatkan manusia melalui Al-Qur’an:

‘Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.’ (QS. Al-Faathir:5)

‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (QS. Al-Faathir:6)

Kalau selama ini Nadia memilihku sebagai pendampingnya, pasti bukan tanpa alasan. Dan apabila sekarang aku menjadi pribadi kerdil yang membonsai impiannya, bagaimana bentuk pertanggungjawabanku kepada Nadia.

Tidak, aku tidak ingin menjadi pribadi yang picik. Ini bukanlah Candra yang aku kenal. Candra adalah pribadi yang berjiwa besar. Pribadi optimis. Pribadi yang selalu menantikan tiap misteri kelokan hidupnya dengan semangat dan ucap syukur kepada Allah. Sekuat tenaga aku menguatkan hatiku. Aku tidak boleh kalah. Andai toh selama ini keluarga Nadia tidak membuka pintu untukku, itu bukanlah sebuah akhir. Selama ada niat, di situ ada jalan. Ketika sebuah pintu tertutup, sejatinya sebuah jendela sedang terbuka. Aku tidak melakukan sebuah perbuatan dosa, aku hanya sedang memperjuangkan cintaku. Aku menyakini rasa ini. Aku akan terus menggegamnya. Berjuang mewujudkannya menjadi nyata. Kalau toh tidak sekarang, insyaallah, besok atau besoknya lagi, pasti pintu keluarga Nadia akan terbuka.

Aku menatap ke arah makhluk hina itu. Memberikan senyum terbaikku. Dan dengan mengucap bismillah, meniup bayang gelap itu merepih hilang tak berbekas. Ketika aku memenangkan pertempuran itu, suara alun adzan Isya memantul dari jendela kamar. Subhanallah. Aku mengucap alhamdulillah, memuji kebesaran Allah atas karunia-Nya memberiku kekuatan tidak terbujuk kepada rayu setan yang terkutuk. Waktu melaju demikian cepat. Selesai mandi, aku segera mendirikan shalat Isya.

Betapa sempurna ajaran agama Islam. Sholat yang diwajibkan 5 kali sehari semalam sungguh persinggahan teduh untuk meneduhkan tubuh dan ruh yang terpanggang api kehidupan. Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sesungguhnya mampu membuat hati yang dibakar resah dan dirundung gelisah kembali menjadi tentram dan tenang. Shalat yang dilakukan dengan khusuk dan memperoleh ridho Allah, adalah obat mujarab untuk menghilangkan keluh sedih dan risau yang bertandang.
[]

Lebih kurang 30 menit berkendara menyusuri jalan Sriwijaya lalu berbelok ke Lampersari, aku pun tiba di halaman rumah kang Radjimo. Sebuah rumah berlumur cat putih yang mulai kehilangan kilau warnanya. Rumah yang tidak terlalu besar ini tenggelam di antara gagah rumah-rumah di sebelahnya. Dulunya, rumah ini adalah kepunyaan orang tua kang Radjimo. Setelah kedua orang tuanya meninggal, sebagai anak tunggal, hak milik rumah ini turun kepadanya. Meski sebenarnya kang Radjimo dapat pindah ke rumah yang lebih bagus, tetapi ia mengatakan ingin menetap dahulu di rumah ini, setidaknya selama beberapa tahun.

‘Ada amanah orang tua yang harus dijaga,’ demikian kang Radjimo selalu mengurai alasannya.
Kang Radjimo menyambutku dengan gaya khasnya. Senyum lebar, wajah berbinar, dan tangan yang selalu terentang penuh kehangatan. Meski cukup lama kami tidak bertemu, tapi kehangatan dan keceriaannya tak sedikitpun luntur. Tubuh kurus kang Radjimo sampai terguncang-guncang ketika ia memelukku.

‘Waalaikumsalam. Mari masuk, saudaraku.’ Ucap kang Radjimo begitu mengetahui aku yang datang berkunjung. Sepertinya kang Radjimo baru saja pulang dari masjid. Sorban dan kopiah masih melingkar di tubuhnya.
Kami pun duduk di ruang tamu, berisi sebuah meja bundar yang dikelilingi 5 kursi terbuat dari rotan. Rumah kang Radjimo memang sederhana, tetapi aura yang ada di dalamnya begitu damai dan meneduhkan. Tamu yang masuk ke rumah ini akan merasakan aura tersebut begitu ia melewati pintu masuk. Beberapa kaligrafi yang menggantung di dinding makin pekat menebar aroma sejuk.

‘Ada apa saudaraku. Apa yang dapat saya bantu?’

Sesaat aku malu mendengar pertanyaan kang Radjimo. Aku hanya mengunjunginya ketika sedang menanggungkan lara. Ketika suasana batin dan jiwaku baik-baik saja, betapa aku mudah melupakan untuk bersilaturahmi kepadanya.

‘Maaf sebelumnya, kang. Saya hanya berkunjung ketika sedang menanggungkan masalah.’ Aku berucap dengan kepala tertunduk karena malu.

Kang Radjimo hanya tersenyum mendengarnya. Sebentar kemudian tawanya membuncah keluar. Ia tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya. Demikianlah kang Radjimo. Segala tindaknya selalu didasarkan pada perilaku rasulullah Muhammad saw. Termasuk juga caranya tertawa. Rasulullah mengajarkan kepada manusia untuk selalu menjadi pribadi yang tersenyum. Karena senyum sejatinya adalah obat bagi jiwa. Orang yang mudah tersenyum, menandakan dia selalu berpikir positif dalam hidupnya. Orang yang tersenyum akan menyebar rahmat kepada saudaranya. Bibir yang selalu dihiasi senyum menandakan pemiliknya mempunyai keluasan jiwa, berterima terhadap segala ketentuan-Nya, tidak mudah menyerah, tidak gampang mengeluh, kesabarannya luas, terentang tiada bertepi. Selain tersenyum, Rasulullah juga mengajarkan agar umatnya tertawa dengan lepas. Ketika tertawa, Rasulullah akan tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya.

‘Tidak apa-apa, Ndra. Biasa itu. Manusia memang seperti itu. Lagipula, kamu kan termasuk orang sibuk. Jadi, maklumlah.’

Pengertian kang Radjimo makin membuatku tidak enak hati saja.
Aku tersenyum kecut dalam hati. Kang Radjimo memang paling bisa menyentil kesalahan orang dengan cara yang halus. Diantara berbagai hal yang aku pelajari dari kang Radjimo adalah kematangan dalam kemampuan verbalnya. Ia selalu memilih kata dengan tepat. Menyuarakannya dengan intonasi yang tertata. Melumuri tiap kata dengan balut empati yang sesuai. Kata yang keluar dari mulutnya seperti memiliki ruh yang dapat menyihir pendengarnya. Kang Radjimo adalah tipe orator ulung. Diplomasinya benar-benar dapat diandalkan.

Sebelum aku kembali berucap, mbak Alina muncul membawa minuman dan makanan ringan. Mbak Alina adalah istri kang Radjimo. Mereka berdua bertemu saat aktif berdakwah di kampus. Setelah lulus, kang Radjimo langsung meminang mbak Alina.

‘Kalau bertemu yang cocok, langsung khitab aja Ndra. Menikah adalah salah satu sunnah rasul. Jangan tunggu hingga kamu benar-benar siap. Dituruti sampai kapan pun, terkadang manusia tidak pernah merasa siap. Jika kecantikan dia, keimanan dia, dan kepribadian dia sudah memikat kamu, yakinilah, itulah panggilan Allah yang harus kami datangi.’ Demikian alasan kang Radjimo waktu itu. Ketika kemudian aku memperkenalkan Nadia kepada kang Radjimo, ia menghadiahkan senyum kepadaku.

‘Insyaallah, Ndra. Mohonlah kepada Allah selalu agar kalian segera dipersatukan dalam keluarga yang sakinah.’ Demikian waktu itu kang Radjimo memberikan restu dan mendoakanku.
‘Silahkan diminum, Ndra.’ Ucap mbak Alina mempersilahkan.
‘Iya, mbak. Terima kasih. Maaf nih jadi merepotkan.’ Ucapku berbasa-basi.
‘Tidak ucap berucap begitu, Ndra. Seperti dengan siapa saja. Jangan sungkan-sungkan gitu. Ayo diminum.’

Begitulah kehangatan keluarga kang Radjimo menerimaku. Di tengah segala kesederhanaan, kebersahajaan dan keimanan mereka membuat segala yang tersaji terasa nikmat. Malam itu, disela canda akrab dan hangat yang mencair merambati udara dan hatiku, aku membuncahkan segala warna rasa yang dua hari ini merajam habis kedirianku. Aku menceritakan kepada kang Radjimo mengenai dilematika yang sedang aku hadapi. Ketakutan tak beralasan yang menghitamkan hati. Tentang bagaimana rasa takutku menghadapi bayang perpisahan dengan Nadia. Tentang carut marut lemah jiwaku sebagai manusia. Juga tentang kepasrahan Nadia mengharap jawab dariku.

Kang Radjimo khidmat mendegarkan. Kopiah di kepalanya terantuk-antuk mengikuti anggukan kepala saat dia menyimak. Kang Radjimo benar-benar hadir di hadapanku. Ia tidak hanya menyediakan panca inderanya, tetapi juga segenap hati dan rasanya. Hatiku melembut terguyur oleh sejuk pencerahan yang diuntai oleh kang Radjimo.

‘Ikhlaskan saja, Ndra. Sebagai manusia, kita tidak seharusnya meragukan takdir Allah. Apa yang terjadi, semua sudah digariskan bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini. Bukankah saat mendirikan salat kita selalu berucap bahwa sesungguhnya hidup kita, mati kita, ibadah kita, hanya ditujukan kepada Allah semata. Ketika kita ikhlas Allah sebagai Tuhan kita, sejatinya, kita juga harus mempercayai terhadap segala takdir, qadha dan qadhar-Nya.’

‘Apabila memang Nadia adalah jodoh yang dipilih Allah untuk kamu, pasti, bagaimanapun jalannya, kalian akan dapat menuju indah maghligai pernikahan. Jangankan orang tua atau bentang jarak, semua manusia dan jin bersatu pun tidak akan mampu mengubah ketentuan Allah. Dan andai Allah tidak menakdirkan kalian berjodoh, walaupun tiap detik, tiap hari, tiap saat, kamu bersama Nadia, akan tercipta sebuah kejadian dimana kalian akan berpisah juga akhirnya.’

Dalam lembut malam yang membujur penuh keheningan, kang Radjimo mendendangkan bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan. Beberapa kali dia juga menyitir kisah-kisah teladan tentang makna kebesaran jiwa dan keikhlasan berkorban yang dimiliki oleh para sahabat dan ulama-ulama besar dunia Islam. Dalam malam yang mengalir khusuk tersebut, kang Radjimo meneruskan dengan membedah peta-peta jalan hidup yang tergelar. Kearifannya tidak mendoktrinku. Keluasan jiwanya tidak membelengguku. Ia menunjukkan jalan dan mempersilahkan aku memilihnya. Subhanallah, semoga Allah merahmati kang Radjimo dan pribadi-pribadi terpilih lain yang selalu menyediakan suluh hatinya untuk menerangi jiwa umat yang sedang menderita kegelapan.

‘Ingat Ndra, Allah sudah berfirman dalam Al Qur’an yang suci bahwa,

‘Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahanya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Faathir:3)

‘Jalanilah hidup dengan berani, Ndra. Jadilah pribadi yang ikhlas. Dan lihatlah, betapa hidup ini akan mengalun indah seperti sebuah nada penuh dengan harmoni meneduhkan.’

‘Tak ada guna mencemaskan esok hari. Hiasilah hari ini, saat ini dengan penuh kepasrahan ibadah kepada Allah. Apa yang terjadi dalam hidup sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan saat ini. Jangan berhenti untuk berbuat baik, apapun yang terjadi. Karena dalam kebaikan, sesungguhnya, yang terlibat hanyalah pribadi tersebut dan Allah swt. Yakinlah dengan nikmat Allah, Ndra. Sekali kita berniat, mengucap, dan berikrar akan keimanan kepada Allah, maka tak ada yang patut kita khawatirkan selain murka Dia.’

‘Lakukan yang terbaik, dan pasrahkan segala sesuatunya kepada keagungan dan keadilan-Nya. Yakinlah, Ndra. Nikmat dan ampunan Dia selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar, tawakal, dan tetap memelihara iman dalam dada.’

Subhanallah. Embun kesejukan terus menetes dari kearifan kang Radjimo. Mengecap embun kearifan yang diuntai oleh kang Radjimo, sejuk kesadaran akhirnya melembutkan jiwaku. Aku yakin dengan jawaban yang telah bersemi dalam hatiku. Jawaban atas kepasrahan Nadia telah menebar hangat dalam ruang jiwaku.

Kang Radjimo membelai kepalaku dan memelukku erat ketika aku pamit pulang. Ia benar-benar dapat menyelami kalut hatiku, dan memberikan energi positifnya untuk menghilangkan segala duka tak beralasan. Aku mengucap terima kasih dan mendoakan semoga pribadi terpilih seperti dia selalu mendapat nikmat Allah sehingga selalu dapat membantu sesamanya.

Malam itu aku kembali mendirikan shalat Istikharah, memohon pertolongan dari Pemilik segala Kekuatan. Alhamdulillah, hatiku semakin mantab dengan jawaban yang akan aku berikan. Di antara derap kaki malam yang mengayun sublime, firman Allah swt memantul dalam ruang hatiku:

‘Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS. Ath-Thalaq:2)

1 comments:

Gie said...

hanya mengetes..