7:24 PM

(3) Pusat Semesta bernama Nadia

Aku sudah memberitahu bahwa Nadia adalah pusat semestaku. Aku juga sudah bilang bahwa dia adalah pribadi yang kompleks. Cerdas, ceria, suka menyerempet hal-hal yang gila. Seperti ada malaikat dan iblis yang terperangkap dalam hatinya. Detik ini, ia baik luar biasa, tetapi detik berikutnya, Nadia dapat bertingkah super duper membingungkan. Seperti kemarin, ketika detik sebelumnya ia bersikukuh aka pergi ke Malaysia, pada detik berikutnya, ia tiba-tiba menyerahkan keputusannya kepadaku. Tingkah Nadia acapkali absurd. Tidak tertebak gerakan berikutnya. Agar pemahaman kita seragam, tidak ada salahnya apabila aku bercerita sedikit lebih banyak tentang Nadia.

Nadia kecil adalah Nadia yang selalu ingin tahu. Rasa penasaran dan keingintahuannya tumbuh melebihi pertumbuhan fisiknya. Papa dan mamanya sampai kewalahan melandeni pertanyaannya. Ada-ada saja yang ia tanyakan. Nadia kecil juga Nadia yang haus akan pengetahuan. Sumur rasa ingin tahu seolah tergali sangat dalam menghauskan jiwanya. Nadia gemar sekali membaca. Kesukaan membacanya mengantarkan ia mengenal dunia bahkan sebelum ia bisa pergi sendiri ke Malioboro, kawasan paling terkenal di Yogyakarta, tempat Nadia kecil tumbuh. Pela-jaran favoritnya di sekolah adalah Geografi dan sejarah, khususnya bagian yang berisi dunia dan tempat-tempat indah di dunia. Nadia menghafal setiap tempat indah di dunia, menyimpan di kepala kecilnya, dan entah sejak kapan, memimpikan dirinya untuk suatu saat, setidaknya sekali dalam hidupnya, pergi berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Impian yang ternyata tersimpan rapi dalam relung batinnya, menunggu waktu yang tempat untuk diwujudkan.

Nadia betah berlama-lama membaca. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri, menyatu dengan buku-bukunya. Buku adalah sahabat terbaik Nadia. Baginya, buku adalah teman yang sangat setia. Teman yang tidak akan berteriak marah ketika ia acuhkan. Teman yang membimbing dia menguntai impian tanpa ada tatapan sinis meragukan. Buku-buku yang ia baca jugalah yang mengajarinya untuk bermimpi, menciptakan bintangnya, dan menggantungnya tinggi di langit kehidupan. Bintang mimpi paling terang milik Nadia adalah: membaca kitab alam semesta dengan menjelajah dunia.

Nadia kecil tanpa sadar mengajarkan kepada kita bahwa ketika memimpikan sesuatu, dekap mimpi itu dengan segenap jiwa raga. Berjuanglah semaksimal mungkin untuk mewujudkannya, karena begitu mengetahui kesungguhan hati kita, semesta akan berdiri di belakang kita, membantu kita meraih mimpi tersebut. (The Alchemist)

Nadia kecil juga adalah Nadia yang bandel. Pakaian favoritnya tak jauh dari celana pendek berpasangan dengan kaos singlet, simple, tidak ribet. Nadia kecil suka keluyuran menjelajah kampung. Ketika ia pulang, dengan tatapan tanpa dosa, ia akan menyodorkan wajah belepotannya kepada sang mama. Selalu ada oleh-oleh yang ia bawa ketika pulang, lumpur, luka lecet, atau baju sobek. Tapi Nadia kecil tidak pernah menangis. Suatu sore ia pulang dengan luka menganga di lututnya. Mama dibuat kalang kabut. Nadia hanya meringis, tak sekalipun menangis. Apabila sekarang ia tumbuh menjadi gadis dewasa yang kecantikannya membuat iri para gadis seusianya, tentunya sangat tidak disangka apabila di masa kecilnya ia adalah gadis tomboy. Si tukang buat onar, demikian julukan mamanya.

Kesukaannya berpetulang, menetes dari darah sang papa. Sebagai seorang tentara, papa Nadia sering dipindahtugaskan. Nadia kecil tinggal di Yogyakarta hingga ia bersekolah kelas 5 sekolah dasar. Kenangan inilah yang membuatnya selalu berlibur ke Yogya tiap ada kesempatan. Romantisme masa kecil adalah sebuah cermin yang tidak pernah retak, kita selalu membuatnya abadi. Sang papa kemudian ditugaskan ke Semarang. Sebelum akhirnya sekarang menetap di perum Korpri Tembalang, keluarga Nadia sempat tinggal di perumahan Brimob di daerah Pudak Payung, Ungaran. Nadia kecil 2 kali pindah sekolah untuk menyelesaikan SMP-nya. Sesuatu yang benar-benar menguras emosi dan mempengaruhi kepribadiannya. Layaknya anak-anak cerdas lain, Nadia melewatkan masa remajanya dengan bersekolah di SMA N 3 Semarang, sekolah terfavorit di kota Semarang.

Berpetualang dari satu tempat ke tempat lain membuat Nadia tumbuh menjadi pribadi yang agak tertutup. Ia takut berteman akrab karena pada akhirnya akan ia tinggalkan jua. Di sekolah dasar dulu ia punya teman sehidup semati, partner in crime, namanya Monik. Mereka berdua menangis dua hari dua malam ketika Nadia memberitahu akan pindah ke Semarang. Sejak saat itu, Nadia lebih suka menciptakan dunianya sendiri. Nadia menjadi jarang berbagi dengan orang lain. Ia seperti merasa takut untuk kehilangan lagi. Trauma dikhianati teman juga membuat Nadia tidak lagi bisa berteman akrab. Sakit itu bahkan ia bawa hingga tumbuh dewasa. Rasa tak ingin lagi dikhianati membuat Nadia semakin rapat menutup pintu hatinya.

Nadia seolah mempunyai dua dunia. Satu dunia untuk dirinya sendiri, dimana ia bisa menyimpan semuanya, menjadi dirinya sendiri. Tidak ada yang ia biarkan bermain di sana, selain dirinya dan Tuhan. Dunia satu lagi, adalah dunia dimana ia menjalani hari-hari normalnya. Dunia penuh pencitraan. Dunia yang membuat orang merasa mengenal identitasnya. Dunia dimana ia selalu hadir dengan sederet ceria, tingkah yang meletup tak terduga, dan senyum maut yang membuat hidup seorang pria menjadi kalang kabut. Keceriaannya sejatinya ia buat untuk menutupi sepi yang selalu menganga di hati. Tingkah impulsifnya tak lebih dari pelarian segala kecamuk rasa yang tak pernah ia biarkan menemukan bentuknya.

Nadia tumbuh menjadi remaja yang cuek, independent, dan cenderung apatis. Warna sesungguhnya pribadi Nadia hanya akan terlihat oleh orang-orang terpilih, mereka yang ia percaya melongok ke dalam kamar hatinya. Demikianlah Nadia, seperti bumi yang terang di siang hari dan gelap di malam hari, seperti Dr. Jakyle yang santun di kala siang dan Mrs. Hyde yang berdarah dingin di waktu malam. Cantik, cerdas, meng-getarkan, tapi penuh dengan kompleksitas dan paradoks.

Pertama kali mengenalnya, aku sama sekal tidak berpikir ia lah yang kemudian melingkar di hatiku. Bukannya aku menolak. Lelaki mana yang tidak mengidamkan bersanding dengan perempuan jelita seperti dia. Hanya, sebelum khayal membawa pikiranku membumbung dalam nikmat imajinasi, realita telah menyadarkan hatiku terlebih dahulu. Menghempaskannya ke bumi untuk tidak mencoba terbang tinggi dalam buai imajinasi. Dengan logika yang sederhana, sangatlah tidak tahu diri untuk mengangankan dia menjadi kekasihku. Siapalah aku ini? Hanya pemuda miskin dari kampung nun jauh di ujung utara pulau Jawa. Sementara dia, mutiara berkilau yang berasal dari keluarga ningrat. Setelah pensiun dengan pangkat terakhir Letkol, ayahnya mengakrabi dunia politik dengan menjadi anggota dewan.

Tapi, rupanya, aku benar-benar pemuda yang tidak tahu diri. Meski sudah dibanting teramat keras, serpihan imajinasi yang tersisa, kembali bangkit dan memberontak. Kekagumanku akan keindahannya, kerinduanku akan keceriaannya, tanpa disadari terus menyirami benih-benih cinta yang sedari pertama berjumpa telah bertaburan di ladang hatiku. Aku tiada kuasa untuk kembali menghempaskan impian itu. Hasrat itu justru tumbuh semakin menghebat. Hingga kemudian, di setiap perkuliahan yang aku ikuti, keindahan melihat wajah dia lebih membiusku daripada janji-janji masa depan yang ditawarkan oleh diktat yang tingginya menumpuk-numpuk tersebut.

Tiga tahun aku berjuang meraih gagang pintu hatinya, menawarkan diri untuk menemaninya meringkuk dalam kamar kesendiran. Tiga tahun aku bertahan dalam setiap penolakan Nadia. Aku tidak sekalipun berlari ketika Nadia menghardik. Aku tetap datang, menawarkan bahu, menjadikan diriku ada tiap kali ia membutuhkan. Sebagai seorang teman, aku mungkin mendekati kesempurnaan. Dengan segala kehangatan, aku selalu menerima keadaan Nadia. Aku akan ikut menangis ketika air mata membakar matanya. Ketika jarinya teriris, akulah yang menjerit meringis dalam sakit. Aku membantunya melihat indah pelangi di lebat hujan derita yang terkadang menerjang. Aku mengajarinya bersikap ikhlas. Aku meminjamkan seluruh panca inderaku untuk Nadia.
Di dunia yang fana ini, tidak ada satupun yang sanggup menandingi kekuatan sabar. Allah bersama orang-orang yang sabar. Ketika mendapat musibah, mereka tidak mengeluh. Ketika mendapat bahagia, mereka tidak takabur. Kala uji derita mendera, mereka tetap berlari bersimpuh kepada-Nya. Batu yang paling keras sekalipun akan meninggalkan tanda cekung ketika tetes hujan dengan sabar menitik di atasnya. Apalagi hati manusia, makhluk yang dicipta dari tanah. Manusia boleh berburuk sangka terhadap sesuatu. Manusia boleh membenci sesuatu, hingga matanya dibutakan oleh kebaikan. Tapi Allah adalah penguasa hati, penguasa dunia, pemilik jiwa dan raga manusia. Apa yang manusia sangkakan tidak akan terjadi, apa yang manusia coba hindarkan karena takut akan keburukannya, bisa dengan mudah dibalikkan oleh Allah. Apalagi hanya mengubah hati, menghancurkan dunia seisinya yang begitu besar ini pun cukup Allah lakukan dengan berucap: hancurlah, maka dunia seisinya akan hancur lebur.

‘Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu. (QS. Yasin:82)

Pun demikianlah akhirnya, Allah membuka mata hati Nadia. Pintu yang sekian tahun digembok dengan kunci keacuhan dan kemandirian, akhirnya terbuka juga. Awalnya hanya sekadar terbuka sedikit, lalu perlahan melebar, untuk kemudian terentang memberikan semesta kasih dan cintanya. Dengan penuh berucap syukur, Nadia pun menerima cintaku. Apa yang selama ini ia cari, ternyata selama ini telah hadir di hadapannya. Apa yang selama ini ia sangkakan batu kali, ternyata sebuah permata bersinar. Anak udik ini ternyata zaitun yang membuat harum hari-harinya.

Apa yang terjadi dengan hati Nadia mengajarkan kepadaku sebuah pelajaran penting tentang hati. Bencilah sesuatu secara wajar. Cintailah sesuatu dengan kadar secukupnya. Apa yang aku sangkakan baik atau jelek, terkadang tidak demikian adanya. Hanya Allah yang Maha Tahu Segalanya.

‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah:216)

2 comments:

gie said...
This comment has been removed by a blog administrator.
sheela said...

bagus skali karyamu..amin